Pelangi Di Langit Malam (7)

  • Sunday 24 January 2010
  • Posted by Ivan Rahmadiawan
  • Ngumpul di

Setelah menulis cerita Sharon dari bagian 1 – 6 bisa di bilang aku masih mengambil konflik yang aman dan masih kurang greget, maka aku berharap (pada diri sendiri, otak, hatiku dan Tuhan) agar di bagian 7 dan selanjutnya lebih bisa lewes menampilkan konflik yang lebih berkesan. Mungkin saja akan ada tokoh baru dan membongkar semua misteri awal cerita, seperti kenapa Ibunya Sharon tega meninggalkan keluarga, atau apa Rob dan sang Istri sudah benar – benar akan bercerai dan memilih tujuannya masing – masing??

Semua akan terjawab di Blog I Am… !!! (Promosi abis – abisan deh ini.. heheh
---------------------------------------------------

"Pelangi Di Langit Malam"

Matahari menghangatkan tubuh sang peri kecil yang berselimut tebal, kulihat dimatanya terdapat guratan lelah. Bibir polosnya tampak tersimpul manis bersama guling yang ia peluk. Sharon makin erat mendekap guling dan membenamkan rasa letih di bantal empuknya.

Terik sinar mentari pagi dari jendela kamar pun tak ia hiraukan, ia masih kembali menjemput semua mimpi sebelum peri dongeng pergi kelangit dan terbang bersama awan. Kututup kembali pintu kamarnya dengan hati – hati sampai tak menimbulkan bunyi yang dapat membuatnya terbangun.

“Selamat pagi Heidi.” Tegurku dikala ia membuat susu hangat. Tanpa basa – basi aku mengecup pipi kanan-kirinya, karena ia sudah ku anggap ibu sendiri.
“Selamat pagi Rob, aku membuat susu coklat. Apa kamu ingin juga??” tegurnya ketika aku berada disamping kanannya.
“Terimakasih, aku kenyang karena secangkir kopi dan sepotong roti keju.” Balasku dengan memegang pundaknya.
“Kudengar ibunya Sharon mengirim e-mail ?” Tanya Heidi penasaran dengan tangan mengaduk susu hangatnya.
“Iya, ia mengirim beberapaa halaman. Dan itu menandakan ia sudah sadar kalu anak akan butuh Ibu, dan sebaliknya.” Jawabku dengan muka serius.
“Seperti air yang mengalir dan kembali ke pusarannya. Semoga saja cerita dari novel “Mother lovely” akan benar – benar terjadi diakhir cerita ini.” Ujar Heidi dengan suara berharap.

Percakapan pagi bersama Heidi adalah pengganti suasana rumahku tempo dulu. Sebelum mengawali aktifitas selalu aku sempatan untuk ngobrol dimeja makan bersama ibu dan ayah. Dan kini semua terlalu cepat untuk berubah. Pikirku di hari libur seperti ini ada rasa yang tak enak ketika harus memanggil Heidi untuk menemani Sharon di rumah, ini karena aku ada urusaan kantor yang harus diselesaikan dihari libur seperti ini.

^^^

Langkah kaki ku yang tak rela meninggalkan rumah harus kupaksa dengan bayangan muka bossku sendiri. Aku tak tau apa jadinya kalu metting kali aku tak hadir? Mungkin saja pemotongan gaji dan pemecatan tanpa berbasa – basi akan mengantarkanku ke jurang pengangguran. Segera aku telusuri jalan raya sepagi ini dengan perasaan yang gelisah dan berharap rapat darurat ini segera usai dan mengembalikan rasa rindu ayah menjemput rasa rindu anaknya yang sedang terjaga oleh pengasuhnya.

Dan ketika tiba di kantor, kejutanan pertama yang aku terima adalah, metting ditunda 2 jam kedepan. Aku dan Frans sudah menduga kalau ini bakal terjadi, tapi apa boleh buat nasib karyawan sudah berkodrat di tangan atasan.

“Aku membatalkan liburan akhir pekan bersama putraku dan kamu tau apa terjadi ??” tiba – tiba Frans membuka topik perbincangan di kedai kopi dekat kantor. Lalu ia melanjutkan dengan nada kesal, “dia membanting pintu kamar tanpa mau tau apa alasan kenapa hari sial ini terjadi.”
“Semoga kamu tau bagaimana mengatasi anak lelakimu Frans.” Jawabku menenangkannya.
“Bagaimana dengan rencanamu hari ini Rob?? Bukannya Sharon lebih penurut ketimbang anak lelakiku??” Tanya Frans yang membandingkan berbedaan mengasuh anak perempuan dan laki – laki.
“Menemaninya ke toko buku. Tapi saat ku tinggal, dia belum tau kalu rencana itu akan berubah menjadi tidak pasti.” Mukaku pun langsung panik kalu saja hari ini gagal menemaninya. “Semoga rayuanku masih berlaku ketika sampai dirumah.” Kataku dalam hati, berharap itu akan terjadi.

Beginilah para ayah mengobrolkan anak – anaknya, tak hanya aku dan Frans yang kesal, tapi ada teman sekontor lainnya yang mengalami hal yang serupa. Dan kami pun hanya bisa mengambil jurus masing – masing untuk membujuk putra – putri kami memahami apa yang terjadi.

^^^



Tepat pukul 4 sore aku kembali ke rumah dan udara yang kuhirup seketika bercampur aroma hujan dan tanah yang bersatu dan bertemu dengan rintikan hujan yang mulai deras.

Mataku menemukan Sharon dengan lahap menyantap sepiring kecil pudding buah bersama Kevin dan Clara, teman sekolahnya yang kebetulan satu kompleks dengan kita. Mata Sharon yang mendapati tubuhku, segera ia membujuk ayahnya untuk duduk bersama di meja makan.

“Ayah, kenapa hari libur seperti ini masih bekerja ??” Tanyanya ketus.
“Bukankah ini yang kebeberapa kalinya ayah seperti ini??” Jawabku mengingat berapa kali aku bekerja di hari libur??.
“Tapi kan janji kita..” dengan cepat aku melanjutkan ocehannya Sharon, “menemani mu ke toko buku!!!!” mimik wajahku aku paksa untuk ceria.
“Tapi hujan dan sudah sore Yahhh…”
“Masih ada waktu untuk kesana kan sayang?? Lihat hujan dan tanah, mereka sering membuat janji, tapi sepertinya janji mereka sering terganjal oleh beberapa musim. Tapi apa mereka marah ketika sesuatu yang terlamabat datangnya tapi dapat mempertemukan mereka lagi??”
“Nggak mungkin bisa aku jawab, karena aku tak tau kapan hujan dan tanah membuat janji.” Jawabnya tegas dan masuk akal menjelaskannya.

Nafasku terhenti beberapa detik manghadapi anak sekritis ini dan kami pun sepakat untuk pergi jam 7 malam bersama Kevin dan Clara. Kami akan melewati malam ini di pusat hiburan kota, dan aku lebih memilih untuk mengikuti kemauan anak – anak ini, karena takut bergulat dengan ocehan meraka yang terkadang membuat orang dewasa tanpa sadar rela meminum racun dari gelas jusnya.

^^^


Hampir semua toko yang menjual segala dunia anak, mereka kunjungin. Pikiranku selama berjalan dari satu toko ke toko lainnya adalah membayangkan nasib kartu kreditku ini yang mungkin akan jebol dalam hitungan menit.

“Sharon, apa yang belum kamu dapatkan?? Karena ayah sudah letih mengikuti kalian semua. Hampir semua toko kalian jelajahi. Ayah sudah tidak kuat lagi untuk berjalan.” Omelanku kini terasa bervolume, karena faktor lelah dan usia yang tidak bisa disamakan dengan bocah 9 tahun.
“Ayah bisa cari minum dulu, aku, Kevin, sama Clara akan nyusul ayah.” usulannya didukung oleh dua kawannya yang tak kenal lelah.

Menikmati kembali green tea yang segar membuat letih di tumit kaki terasa berkurang. Kulirik jam dilengan kanan dan kuhitung berapa jam sudah aku mengikuti tiga bocah itu untuk mengikuti ritual dunia anak mereka.

Sejam berlalu, tak ada tanda – tanda mereka muncul, tapi dari arah belakang ada yang menutup mataku dengan jari – jari yang kecil. Aku tebak ini bukanlah jari orang dewasa.

“Kejutannnn…” teriak Kevin dari belakang yang diikuti dua kawannya termasuk Sharon.

Yang kulihat mereka bertiga membawa cup ice cream masing – masing di tangan. Dan Sharon membawa dua cup ukuran sedang, “Ayah, aku bawakan ice cream kopi ini untukmu. Dan ini aku beli dengan uang saku yang kemaren tak kuhabiskan.” Katanya lantang dan bangga bisa membelikan ice cream untuk ayahnya. “ehm… Clara dan Kevin sih yang tambahin uangnya, karena uang yang kupunya tak cukup.” Sharon melanjutkan ocehannya dan tertawa malu.

Hahaha…. Aku tertawa hampir menyerupai monster, karena tingkah sharon yang lugu. Kami lanjut ke rencana berikutnya untuk menghabiskan malam ini. Dan taman kota adalah pilihannya, dengan belanjaan yang super banyak kita menuju parkiran dan berjalan kaki untuk menuju taman kota yang jaraknya hanya bersebrangan.


Aku mendengar obrolan Sharon, Kevin dan Clara mengenai pelangi di langit gelap. Aku ingat sekali cerita itu hanya karangan ibunya Sharon yang rajin menulis cerita singkat untuknya, dan kini aku kembali diingatkan oleh pelangi itu.


“Sharon, tidak mungkin ada pelangi di malam hari.” Kevin duduk di tengah dengan memandangi langit malam yang seperti laut luas tapi tercampur tinta cumi raksasa.
“Iya, tapi sebenarnya pelangi, awan, bintang, bulan dan matahari bersahabat. Mereka bergantian untuk menjaga isi di bumi, memantau semua gerak – gerik manusia.” Kujawab dengan fantasiku sendiri. Kini aku sudah bergabung dengan mereka.
“Ayah tau dari mana??” Tanya Sharon penasaran.
“Semua orang tau, cuma kalian yang tak pernah mau tau.”


^^^


Diperjalanan pulang, mereka masih membahas perkataanku yang ‘cuma kalian yang tak pernah mau tau’ itu. Dan hebatnya semua protes gak setuju dengan ucapanku. Alasan Kevin, pelangi itu ada setiap saat dan aku sering melihatnya. Sedangkan Clara menjawab, Aku tak pernah melihat pelangi di malam hari. Mungkin diantara kalian bisa kontak aku bila itu terjadi. Nah, Sharon hanya menjawab, Aku lebih setuju apa kata ayah, mereka bersahabat bergantian memantau isi bumi.

Memasuki kompleks rumah, Kevin bertanya padaku dengan penasaran.

“Apa paman pernah melihat pelangi di langit malam?
“Tentu saja, bahkan malam ini paman melihatnya. Jawabku.
“Kenapa tidak memberitahuku paman??” keluh Clara yang penasaran dengan topic ini.
“Pelangi di langit malam paman malam ini, kalian semua…” aku mematikan mesin mobil tepat didepan rumah Kevin dan mengantarnya sampai di depan rumah.


^^^


Kubiarkan kaki letihku menjadi kompas, menentukan dimana aku harus berada. Ehmm.. “KAMAR” radar yang kuperoleh dari kakiku yang mulai berteriak ingin istirahat. Mengambil satu bantal dan menindihnya dengan notebook di pangkuanku, jari – jariku cekatan membuka satu demi satu email yang baru kuterima.

“Wow, apa ini ‘Kejutan berikutnya’ ?” Tanya ku kaget.

NB: kalu kamu susah berkomentar tentang cerpen ini, pilih aja reaksi mu setelah baca cerita ini di kotak 'reaksi Pembaca"... Terimakasiku yang sudah menyempatkan diri membaca cerita ini... :)

0 Komentar: