Kejutan Berupa E-mail (6)

  • Thursday 29 July 2010
  • Posted by Ivan Rahmadiawan
  • Ngumpul di

“Ayah, lihatlah buku tahunanku…!!” seru Sharon ketika aku sedang menyiapkan makan malam.

“Wow, sudah jadi yah?? Terlihat keren covernya…”

Kedua mataku terbelalak melihat halaman pertama buku tahunan putriku yang masih duduk di kelas 4. Penuh dengan Testi dari teman sekelas Sharon dan beberapa daftar kegiatan sosial mereka. Sangat terencana dengan sempurna untuk sebuah buku tahunan yang isinya kegiatan sekolah anak - anak berumur 9 tahun…

Sebenarnya ketika Sharon masih di duduk di kelas 2 dia juga sudah membawa pulang buku tahunan pertamanya, karena sekolahnya memberikan fasilitas yang cukup beragam jadi setiap 2 tahun sekali para siswa akan berganti kelas, materi baru dengan bonus ‘Buku Tahunan’ yang sebenarnya seperti laporan siswa yang hanya dikemas lebih kreatif saja. Tapi berhubung dia masih kecil dia tak terlalu excited seperti tahun ini. Kali ini ia tau akan (hanya) berpisah kelas untuk mengikuti materi berikut dan ini akan membuat Sharon memiliki banyak teman baru. Selain itu, ia akan segera mengumpulakan pengalaman baru bersama guru pembimbingnya.

Di sisi lain aku senang rasa melihat anak ku bisa aktif di kegiatan sekolah seperti ini, terlihat jelas dia sudah mengikuti semua program yang di ajukan oleh mentor kelasnya dengan sebaik mungkin. Dan hadiah berupa buku tahunan ini bisa jadi raport berharga buatnya.

“Iyaa dongg…” Balasnya bangga.

^^^

Segelas tea yang dicampur dengan irisan raspberry dan jus apel ini pengganti red wine ku, resep yang kuperoleh dari teman dan sampai sekarang telah berhasil membuatku addicted. Menu utama yang ku buat hanya salad sayur dan sepotong daging yang di grill dengan butter dan dipadukan dengan saus mushrooms. Tapi diakhir makan malam Sharon bertanya,

“Yah, tak ada kah makanan penutup kali ini ??”

Sengaja aku tidak membuat hidangan manis karena sudah terlalu repot untuk membagi waktu. Tapi seingatku ada sekotak icecream yang bisa disajikan buatnya… “Coba kamu lihat di freezers, bukankah ayah membelikanmu sekotak ice cream.”

Dengan semangat ia membuka kulkas dan mengambil kotak ice cream berukuran jumbo. Dan membawanya ke meja makan, ia juga membawa gelas dan sendok untuk menikmati hidangan tersebut.

“Ayah, apa ini ice cream milikmu ???” tanyanya ketus dengan wajah cemberut.

Aku yang tak tau apa maksudnya hanya menjawab “Bukan, itu ice cream buat mu sayang.”

“Lihat ini !!!” ia membawakan penutup kotak ice cream ke hadapanku.

“Hahh.. Icecream coffee with choco chips?” ucapku kaget ketika membaca label kotaknya.

“Aku tak suka kopi Yah, pasti ayah salah ambil kan ???”

Kuakui kalu kejadian itu terjadi ketika sepulangnya aku dari kantor dan dipikiranku masih terpengaruh harumnya aroma biji kopi, sampai tanpa sadar tangan ku membawa pulang kotak icecream itu.

“Rupanya ayah salah ambil, sudahlah nikmati saja wafermu yang masih tersisa.” Aku menyuruhnya untuk melupakan hidangan penutup super lezat yang dia bayangkan.

^^^

Penerangan di rumah type 24 ini pun meredup, Sharon sudah merebahkan diri di kasurnya dan aku kembali berjuang menyelesaikan satu pekerjaan kantor untuk rapat esok hari. Tanpa secangkir kopi karena belakangn ini aku butuh istirahat yang cukup, kopi bukan pemecah masalah yang baik. Aku hanya butuh tidur cukup tanpa harus bekerja selarut ini.

Sorot mataku masih fokus di layar notebook dan jari - jariku juga masih setia mengetikkan sebagian tugas kantor. Disela otak mengasah untuk mengerjakan tugas, aku kembali berpikir masa depan. Masa depan untuk Sharon dan diriku sendiri. Cukupkah aku bahagia dengan status single perent seperti ini ?? Walaupun aku belum resmi bercerai, mungkin lebih tepatnya pisah ranjang ???

Keluarga bukanlah satu tapi ‘bersama’ yang berisi lebih dari 2 orang, suami dan istri hidup bersama anaknya. Sharon hanya punya satu dan itu tidak adil. Tiap kali ia sakit, tak ada belaian wanita selain bibi Heidi atau ketika berlibur tak ada canda tawa wanita yang menghiburnya di sela perjalanan. Itulah yang membuatku selalu merasa bersalah dan terus bersalah kenapa ini terjadi kepada Sharon? Dia tak ada dosa untuk menanggung semua beban dan rasa pahit semacam ini. Keputusan Ibunya meninggalkan kita berdua yang tidak pernah kumengerti apa yang ada di pikiran wanita itu.

Mengingat Ibunya Sharon, seketika itu juga aku menyempatkan untuk menelponnya dan menyuruhnya kembali demi Sharon, setidaknya menjelaskan situasi yang terjadi. Tapi sangat sulit untuk menyakinkan dia kembali, mengingat pekerjaannya sebagai orang kepercayaan perancang busana asal Prancis. Menjadi designer adalah target hidupnya, dan aku sulit untuk mengendalikan target tersebut.

^^^

4 minggu kemudian,

Sehabis makan siang, e-mail ku dipenuhi artikel yang ditulis ibunya Sharon. Sekitar 10 halaman ia tulis dan aku belum sempat membacanya. Tapi ujung mataku berusaha menahan air mata ketika membaca tulisan pertama yang bercerita tentang pertama kali ia memeberi ASI ke Sharon, mengganti popoknya, dan kisah baby blues yang sering dia rasakan. Aku mengingat semua kejadian itu dengan rasa teramat rindu. Wanita yang masih kucintai yang memberikan putri kecil sejenius Sharon adalah hadiah buatku. Walaupun hadiah itu harus ditukar dengan masalah seperti ini.

Seharian aku membaca kesepuluh halaman e-mail itu dan membalasnya dengan kalimat yang singkat karena canggung. Aku belum siap untuk menyerahkan tulisan ini ke Sharon karena aku tidak tau harus memulainya.

Dan e-mail terakhir darinya menyuruh ku sesegera mungkin untuk menyerahkan tulisan itu ke Sharon. Aku pun tak bisa menunda lagi dan segera merencankan penyerahan artikel itu ketika kita makan malam bersama.

“Sayang, mungkin setelah kamu membaca ini, kamu akan tau maksud dan tujuan Ibu mu yang sebenarnya. Semua kisah dan perjalannya sudah dia tulis buat kamu. Ayah mohon kamu bisa menahan rasa emosi yang mungkin akan membuatmu marah.”

“…….” Sharon menatapku bingung dan kubiarkan dia duduk di sofa ruang tamu.

^^^

Pagi menyambutku dengan rasa ingin tau apa reaksi Sharon dengan tulisan Ibunya itu. Marah, terharu atau ingin sekali mengamuk, karena dia di jadikan korban keegoisan seorang wanita yang salah mengambil tindakkan.

Kubuka pintu kamarnya dan ku mengintipnya dibalik selimut tebalnya. Suhu ruangn yang dingin membuatku segera mematikan pendingin ruangan dan membuka jendela kamar. Terdengar helaian nafas yang berat, saat kuberbalik badan kudapati mata birunya lembab.

“Kapan aku bisa bertemu Ibu Yah ??” tanyanya sesaatku mendekatinya.

“Sabar sayang, Ibu sedang menemukan satu hal yang paling berharga dalam hidupnya.”

“Dan itu bukan kita kan ??”

“Setiap manusia akan merindukan mimpinya terwujud dan kini Ibumu berhasil menemukannya. Walau jalannya salah.”

“Tak apa Yah, darah ibu mengalir bersama waktu dan aku selalu merasa dia selalu ada di sampingku layaknya kasih sayang ayah kepadaku.” Jawabnya seolah mengerti dengan keadaan yang terjadi.


2 Komentar:

  1. @Farrel, Wow, terimakasih sudah baca ceritanya.... :)